Rabu, 07 Juni 2017

Sumber Hukum Agama Islam


Agama ialah ilmu atau ideologi dan rencana atau system yang didasarkan atas idologi itu. Dalam Islam, ideologi adalah system hubungan (relation) antara ide yang terbit atau terpancar dengan lengkapnya dari satu   ide asasi, yaitu “keesaan ilahi”
(Ahadiyah atau Wahdaniyah), dan ini merupakan satu kesatuan yang selaras. Tentang sistem hidup islam dikatakan dalam Qur’an suci, bahwa sistem itu sesuai dengan tempat kedudukan manusia disemesta alam. Oleh sebab itu sudah sewajarnya manusia harus melaksanakan prannanya dalam evolusi kreatif yang dilancarkan oeh Allah Subhana wa Ta’ala Rabbul Alamin, Sebagaimana halnya dijalankan oleh seluruh ciptaan-Nya. Kesemuanya dibentangkan panjang lebar dalam Quran suci dan ditafsirkan oleh nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam dengan ucapan dan perbuatan (sunnah)[1].
Islam adalah sistem nilai dan ajaran Illahiyah yang bersifat transendental. Sebagai suatu sistem universal, Islam akan selalu hadir dinamis dan menyegarkan serta akan selalu mampu menjawab berbagai tantangan zaman[2] dan  mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam Islam, segala hal yang menyangkut kebutuhan manusia, dipenuhi secara lengkap. Semuanya diarahkan agar manusia mampu menjalani kehidupan yang lebih baik dan manusiawi sesuai dengan kodrat kemanusiaannya (Hasan al- Banna, 1976: 2). Jika hal itu dilakukan, maka akan selamat dalam kehidupan dunia dan akhirat. Sebagai sebuah sistem, Islam memiliki sumber ajaran yang lengkap, yakni Alquran dan Hadits. Rasulullah menjamin, jika seluruh manusia memegang teguh Alquran dan Hadits dalam kehidupannya, maka ia tidak akan pernah tersesat selamalamanya (HR. Muslim). Alquran, dipandang sebagai sumber ajaran dan sumber hukum Islam yang pertama dan utama, sedangkan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Nilai kebenaran Alquran bersifat mutlaq (absolut, qath’i), karena Alquran merupakan wahyu Allah Subhana wa Ta’ala yang transcendental, sangat agung, mengandung mu’jizat, dan tidak akan ada seorang pun yang mampu membuat tandingannya. Hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Alquran merupakan sabda, prilaku, dan ketetapan Rasulullah yang tidak mungkin keliru. Sebab Rasulullah adalah manusia pilihan Allah Subhana wa Ta’ala dan Rasul Allah Subhana wa Ta’ala yang dipelihara dari kekeliruan. Beliau dibimbing oleh kekuatan wahyu Allah Subhana wa Ta’ala dalam menjalani kehidupannya. Persoalan kebenaran hadits terletak dari periwayatannya, ada yang lemah (dlaif) dan ada yang kuat dan bisa dijadikan sebagai hujjah (shahih dan hasan).yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam Islam, segala hal yang menyangkut kebutuhan manusia, dipenuhi secara lengkap. Semuanya diarahkan agar manusia mampu menjalani kehidupan yang lebih baik dan manusiawi sesuai dengan kodrat kemanusiaannya. Jika hal itu dilakukan, maka akan selamat dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Sebagai sebuah sistem, Islam memiliki sumber ajaran yang lengkap, yakni Alquran dan Hadits. Rasulullah menjamin, jika seluruh manusia memegang teguh Alquran dan Hadits dalam kehidupannya, maka ia tidak akan pernah tersesat selamalamanya (HR. Muslim). Alquran, dipandang sebagai sumber ajaran dan sumber hukum Islam yang pertama dan utama, sedangkan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Nilai kebenaran Alquran bersifat mutlaq (absolut, qath’i), karena Alquran merupakan wahyu Allah Subhana wa Ta’ala yang transcendental, sangat agung, mengandung mu’jizat, dan tidak akan ada seorang pun yang mampu membuat tandingannya. Hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Alquran merupakan sabda, prilaku, dan ketetapan Rasulullah yang tidak mungkin keliru. Sebab Rasulullah adalah manusia pilihan Allah Subhana wa Ta’ala dan Rasul Allah Subhana wa Ta’ala yang dipelihara dari kekeliruan. Beliau dibimbing oleh kekuatan wahyu Allah Subhana wa Ta’ala dalam menjalani kehidupannya. Persoalan kebenaran hadits terletak dari periwayatannya, ada yang lemah (dlaif) dan ada yang kuat dan bisa dijadikan sebagai hujjah (shahih dan hasan)[3].








PEMBAHASAN
A.  Pengertian Agama Islam
Islam berasal dari kata, as-salamu, as-salmu, dan as-silmu yang berarti: menyerahkan diri, pasrah, tunduk, dan patuh. Berasal dari kata as-silmu atau as-salmu yang berarti damai dan aman. Berasal dari kata as-salmu, as-salamu, dan as-salamatu yang berarti bersih dan selamat dari kecacatan-kecacatan lahir dan batin. Pengertian Islam menurut istilah yaitu, sikap penyerahan diri (kepasrahan, ketundukan, kepatuhan) seorang hamba kepada Tuhannya dengan senantiasa melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, demi mencapai kedamaian dan keselamatan hidup, di dunia maupun di akhirat.
Islam itu memiliki delapan saham; Islam itu sendiri merupakan saham, shalat juga termasuk saham, zakat adalah saham, shaum adalah saham, Haji termasuk saham, amar ma'ruf termasuk saham, nahi munkar termasuk saham, berjihad termasuk saham, maka celakalah orang yangn tidak memiliki saham itu. (HR. Al Bazzar)
Siapa saja yang menyerahkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah Subhana wa Ta’ala, maka ia seorang muslim, dan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah Subhana wa Ta’ala dan selain Allah Subhana wa Ta’ala maka ia seorang musyrik, sedangkan seorang yang tidak menyerahkan diri kepada Allah Subhana wa Ta’ala maka ia seorang kafir yang sombong. Dalam pengertian kebahasan ini, kata Islam dekat dengan arti kata agama. Senada dengan hal itu Nurkholis Madjid berpendapat bahwa sikap pasrah kepada Tuhan adalah merupakan hakikat dari pengertian Islam. Dari pengertian itu, seolah Nurkholis Madjid ingin mengajak kita memahami Islam dari sisi manusia sebagai yang sejak dalam kandungan sudah menyatakan kepatuhan dan ketundukan kepada Tuhan, sebagaImana yang telah diisyaratkan dalam surat al-A‟raf ayat 172 yang artinya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah Subhana wa Ta’ala mengambil kesaksian terhadapjiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukanyang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yanglengah terhadap Ini (keesaan Tuhan).
Berkaitan dengan Islam sebagai agama, maka tidak dapat terlepas dari adanya unsur-unsur pembentuknya yaitu berupa rukun Islam, yaitu; membaca dua kalimat Syahadat, mendirikan sholat lima waktu, Menunaikan zakat, Puasa Ramadhan, Haji ke Baitullah jika mampu[4].
B.  Sumber Agama Islam
a.    Al-Qur’an
Definisi Al-Qur’an menurut beberapa pendapat secara bahasa berarti saling berkaitan, berhubungan antara satu ayat dengan ayat lain, dan berarti pula bacaan. Pengertian ini memperlihatkan kedudukan Al-Qur’an sebgai kitabullah yang ayat-ayat dan surat-suratnya saling berhubungan, dan ia merupakan bacaan bagi keum muslimin.
Menurut Manna’ al-Qathan, Al-Qur’an kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu alaihi wa salam dan membaca adalah ibadah. Term kalam sebenarnya meliputi seluruh perkatan, namun karna istilah itu disandarkan (diidhafatkan) kepada Allah Subhana wa Ta’ala (kalamullah), maka tidak termasuk dalam istilah Al-Qur’an perkataan yang berasal selain dari Allah Subhana wa Ta’ala, seperti perkataan manusia, jin dan malaikat. Dengan rumusan yang diturunkan kepada nabi Muhammad Shallalhu alaihi wa Salam, seperti Zabur, Taurat dan injil. Selanjutnya dengan rumusan “membancanya adalah ibadah” maka tidak termasuk hadits-hadits nabi.
Al-Qur’an adalah firman Allah Subhana wa Ta’ala yang diturunkan kepada hati Rasullullah Muhammad bin Abdullah melalui Jibril alaihi salam dengan lafal-lafalnya yang berbahasa arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi Rasul, bahwa ia benar Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam, menjadi undang-undan bagi manusia, memberi ptunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana pendekatan diri dan ibadah kepada Allah Subhana wa Ta’ala dengan mebacanya. Al-Qur’an itu tehimpun dalam mushaf, dimulai dengan surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas, disampaikan kepada kita secara mutawattir dari generasi ke generasi secara tulisan maupun lisan. Ia terpelihara dari perubahan atau pergantian.
Terdapat sifat-sifat yang membedakan Al-Qur’an dan kitab-kitab lainnya. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Isi Al-Qur’an
Dari segi isi, Al-Qur’an adalah kalamullah atau firman Allah Subhana wa Ta’ala. Dengan sifat ini, ucapan Rasulullah, malaikat, jin dan sebagainya tidak dapat disebut Al-Qur’an. Kalamullah mepunyai keistimewaan-keistimewaan dalam 86 surah periode Makkah (Makkiyah) dan pada periode Madinah (Madaniyah) sebanyak 1456 ayat yang tercakup dalam 28 surah.
2.    Pembawanya
Dari segi pembawanya, Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam bin Abdullah seorang Rasul yang dikenal bergelar Al-Amin (Terpercaya). Ini berarti bahwa wahyu tuhan yang disampaikan kepada nabi lainnya tidak dapat disebut Al-Qur’an.
Al-Qur’an memberi informasi bahwa ia diturunkan dari Lauh Mahfudz ke dunia melalui malaikat jibril. Lauh Mahfudz adalah tempat terpelihara secara apik dari gangguan dan pengrusakan.
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam diutus Allah Subhana wa Ta’alau alaihi wa salam sebagai pembawa Al-Qur’an dianugrahi sifat-sifat mulia yang mustahil ia berdusta. Kehebatan Nabi Muhammad ShallAllah Subhana wa Ta’alau alaihi sallam tidak hanya diakui oleh kaum muslimin, tetapi juga oleh penulis barat atau orientalis. Michael Hart, misalnya dalam bukunya The 100, a Ranking of The Man Influential Persons in History (100 tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah) menempatkan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam pada urutan teratas. Penempatan ini didasarkan pada alasan bahwa beliau satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupuun ruang lingkup duniawi. Beliau adalah seorang ummy tak pandai membaca dan menulis.
3.    Fungsinya
Dalam definisi Al-Qur’an tersebut di atas disebutkan bahwa Al-Qur’an antara lain berfungsi sebagai dalil atau petunjuk atas kerasulan Muhammad Shallallahu alaihi wa salam, pedoman hidup bagi umat manusia, menjadi ibadah bagi yang membacanya, serta pedoman dan sumber petunjuk dalam kehidupan.
Sifat bacaan menghendaki dekatnya lidah dan telinga serta masuknya bacaan itu ke dalam pikiran dan hati manusia. Sifat ini mengisyaratkan fungsi Al-Qur’an untuk dihayati dan kemudian menjadi pedoman hidup bagi manusia.
Al-Qur’an disampaikan kepada kita dengan cara mutawatir, dalam arti, disampaikan oleh sejumlah orang yang semuanya sepakat bahwa ia benar-benar wahyu Allah Subhana wa Ta’ala Subhana wa Ta’Ala, terpelihara dari perubahan atau pergantian. Tujuan Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur itu adalah agar Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam dan para sahabatnya dapat menyimak, memahami dan mengamalkan serta memeliharanya dengan baik. Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam membacakannya dihadapan para sahabat secara perlahan-lahan dan para sahabat membacanya sedikit demi sedikit.
Al-Qur’an mempunyai nama yang bermacam-macam. Ada yang menyebutnya berjumlah 55 nama. Ada pula yang mengatakan 90 nama. Namun dari sekian banyak nama tersebut yang termasyhur hanya empat, yaitu Al-Qur’an itu sendiri, Al-Kitab, Al-Furqan dan Adz-Dzikr.
Dari sejarah turunnya Al-Qur’an bahwa Al-Qur’an mengandung pokok-pokok ajaran sebagai berikut:
a.    Pokok-pokok keyakinan atau keimanan terhadap Allah Subhana wa Ta’ala, malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul dan hari akhir.
b.    Pokok-pokok peraturan atau hukum, yaitu garis-garis besar aturan tentang hubunngan dengan Allah Subhana wa Ta’ala, antara manusia dan hubungan manusia dengan alam yang melahirkan syariat, hukum atau ilmu fiqh.
c.    Pokok-pokok aturan akhlah yang menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikiti oleh manusia dalam kehidupannya secara individu atau kolektif.
d.   Pokok-pokok dasar tentang tanda-tanda alam yang menunjukkan eksistensi dan kebesaran Tuhan sebagai pencipta.
e.    Kisah-kisah para Nabi dan umat terdahulu
f.     Informasi tentang alam gaib, seperti adanya jin, kiamat, surga dan neraka[5].          
b.   Hadits
1.    Pengertian
Secara etimologis, hadits memiliki makna sebagai berikut:
a.    Jadid, lawan qadim: yang baru (jamaknya hidats, hudatsa, dan huduts);
b.    Qarib, yang dekat, yang belum lama terjadi;
c.    Khabar, warta, yakni: sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang yang lain (Hasbi Asshiddiqy, 1980: 20).
Adapun pengertian Hadits secara terminologis menurut Ahli Hadits:  “Segala ucapan, segala perbuatan dan segala keadaan atau perilaku Nabi Shallallahu alaihi wa salam”. Definisi di atas menyatakan bahwa yang termasuk dalam kategori hadits adalah perkataan nabi (qauliyah), perbuatan nabi (fi’liyah), dan segala keadaan Nabi (ahwaliyah). Di samping itu, sebagian ahli hadits menyatakan bahwa, masuk juga ke dalam keadaannya; segala yang diriwayatkan dalam kitab sejarah (shirah), kelahiran dan keturunannyanya (silsilah) serta tempat dan yang bersangkut paut dengan itu, baik sebelum diangkat menjadi nabi/rasul, maupun sesudahnya. Sebagian ulama seperti Ath Thiby berpendapat bahwa “Hadits itu melengkapi sabda Nabi, perbuatan beliau dan taqrir beliau. Melengkapi perkataan, perbuatan, dan taqrir Sahabat. Sebagaimana melengkapi perkataan, perbuatan, dan taqrir Tabi’in. Maka sesuatu Hadits yang sampai kepada dinamai marfu’, yang sampai kepada Sahabat dinamai mauquf dan yang sampai kepada Tabi’in dinamai maqthu.
2.    Kedudukan dan Fungsi Hadits
a.    Kedudukan Hadits
Kedudukan hadits dari segi statusnya sebagai dalil dan sumber ajaran Islam, menurut jumhur ulama adalah menempati posisi kedua setelah Alquran 45. Hal tersebut terutama ditinjau dari segi wurud atau tsubutnya adalah bersifat qath’i, sedangkan hadits kecuali yang berstatus mutawatir sifatnya adalah zhanni al-wurud. Oleh karenanya yang bersifat qath’i (pasti) didahulukan daripada yang zhanni (relatif).
Hadits Nabi Shallallhu alaihi wa salam merupakan penafsiran dalam praktek-praktek penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal, dan umat Islam diwajibkan mengikuti hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti Alquran. Untuk mengetahui sejauhmana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam dapat dilihat dari dalil naqli maupun dalil aqli.
Banyak ayat Alquran yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup, dalam Firman Allah Subhana wa Ta’ala dalam Q.S. al-Hasyr :7 yang artinya:
 “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnyabagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Alla. Sungguh, Allah Subhana wa Ta’ala sangat keras hukuman-Nya”
Allah Subhana wa Ta’ala berfirman dalam Q.S. Ali Imran: 31 artinya:
 “Katakanlah hai Muhammad, jika kamu sekalian cinta kepada Allah Subhana wa Ta’ala maka ikutilah aku (Rasul) niscaya Allah Subhana wa Ta’ala akan mencintai kamu serta mengampuni dosa-dosamu”
Bentuk-bentuk ayat di atas menunjukan betapa pentingnya kedudukan penetapan kewajiban taat terhadap semua yang disampaikan oleh Rasul Shallallahu alaihi wa salam. Dalam salah satu pesan Rasulullah Shallallhu alaihi wa salam berkenaan dengan keharusan menjadikan hadits sebagai pedoman hidup, di samping Alquran sebagai pedoman utamanya beliau, bersabda:
 “Aku tinggalkan 2 pusaka untukmu sekalian yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah Subhana wa Ta’ala dan sunnah rasul-Nya”Metodologi Studi Islam
b.    Fungsi Hadits
Ulama menetapkan 4 macam fungsi hadits terhadap Alquran yaitu:
ü Bayan at-Taqrir
Bayan at-Taqrir disebut juga dengan bayan at-Ta’kid dan bayan al-Isbat. Maksudnya ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam Alquran. Hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah menerangkan: Rasulullah Shallallhu alaihi wa salam bersabda: “Tidak diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum ia berwudhu.
Hadits ini mentaqrir ayat Alquran Surat al-Maidah ayat 6 mengenai keharusan berwudhu ketika seseorang akan mendirikan shalat, yang dimaksud berbunyi: “Hai orang-orang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu kakiku: kedua mata kaki.”
ü Bayan At-Tafsir
Bayan at-Tafsir adalah memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Alquran yang masih mujmal memberikan persyaratan ayat-ayat Alquran yang masih mutlak dan memberikan penentuan khusus ayat-ayat Alquran yang masih umum.
ü Bayan At-Tasyri
Bayan at-Tasyri adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Alquran. Bayan ini disebut juga dengan bayan za’id ala al kitab alkarim.
ü Bayan An-Nasakh
Kata an-nasakh secara bahasa bermacam-macam arti, bisa berarti al-ibtal (membatalkan), al ijalah (menghilangkan) atau at tahwil (memindahkan) atau attaqyir (mengubah) menurut pendapat yang dapat dipegang, dari Ulama Mutaqaddimin bahwa yang disebut bayan an-nasakh ialah adanya dalil syara’ yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada, karena datangnya kemudian[6].
c.    Ijtihad ulil amri
Dalam kamus bahasa Arab, Al-Munjid, susunan Ma’luf al Yasu’i Beirut, ijtihad diartikan bersungguh-sungguh sehabis usaha. Menurut Abdul Hamid Hakim, arti ijtihad dari segi tehnis hukum adalah bersungguh-sungguh sekuat-kuatnya untuk mencapai hukum syari’i dengan jalan mengambil hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan menurut kata-kata atau bahasa, menurut A.Hamid Hakim, ijtihad berarti bersungguh-sungguh yaitu bersusah payah. Imam Syafi’i sendiri  menyamakan arti ijtihad dengan arti qiyas yaitu berijtihad berarti menjalankan qiyas atau membandingkan suatu hukum kepada suatu hukum yang lain, ijtihad diartikan secara sempit. Menurut M. Hasbi Ash-Siddieqy ijtihad dalam arti luas adalah mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara’ dari kitab Allah Subhana wa Ta’ala dan hadits Rasul.
Pembentukan hukum sesuatu hal biasanya tidak hanya dibahas dari segi ijtihad saja, tapi juga dari segi taqlid. Ijtihad berada di pihak paling tinggi berupa mengeluarkan hukum dari alasan-alasannya . Orang yang bertaqlid disebut Muqallid, tidaklah salah. Yang dapat dikatan salah adalah Muqallid yang tidak mau berusaha mengetahui alasan tentang suatu persoalan dan yang lebih dapat dipersalahkan adalah orang yang berusaha agar orang lain bertaqlid selalu dihalang-halangi untuk mengetahui alasan sebenarnya.
Ijtihad merupakan pembentukan garis hukum dengan meneliti bahasa arab yang menafsirkan kata demi kata dan mengetahui dasar Ushul Fiqh. Di samping itu, mereka tidak terlepas daripada dapat mebedakan hukum adat, hukum akal dan hukum syara’. Para mujtahid perlu mempunyai syarat sebagai berikut:
-       Benar- benar mengetahui nash-nash (ketentuan-ketentuan) Al-Qur’an dan Hadits yang berhubungan sengan maslah diijtihadkannya.
-       Benar-benar mengetahui atau mengerti bahasa arab yang hendak ditafsirkan serta mengerti susunan Al-Qur’an sehingga ia dapat mengambil hukum dengan teliti.
-       Beteul-beul tahu dengan ilmu hadits sehingga ia dapat membedakan antar hadits yang dapat menjadi dalil dengan hadits dla’if.
-       Mengetahui tiang dan dasar utama untuk berijtihad yakni ilmu Ushul Fiqh.
Ada beberapa cara atau metode yang melakukan ijtihad, baik ijtihad yang dilakukan sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Metode tersebut diantaranya:
1.    Ijma’, yakni persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli suatu masalah (hukum syariat mengenai suatu kejadian/kasus) pada suatu tempat di suatu massa yang diperoleh sengan suatu cara ditempat yang sama.
2.    Qiyas adalah menyamkan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya salam Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan hal lain hukumnya disebut dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits karena ada persamaan illat (penyebab atau alasan dasar hukumnya) yang tidak lain ukurang yang dipergunakan oleh akal budi untuk membanding suat hal dengan hal lain.
3.    Istidal adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan.
4.    Maslahat Mursalah adalah menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik dalam Al-Qur’an maupun dalam kitab-kitab hadits, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakaat atau kepentingan umum.
5.    Istihsan menurut bahasa adalah menganggap baik, dapat diartikan istihsan sebagai cara menentukan hukum dengan jalan yang menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial.
6.    Istisab adalah menetapkan hukum sesuatu ha menrut keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya. Dengan kata lain, istisab adalah melangsungkan berlakunya hukum yang telah ada karena belum ada ketentuan lain yang membatalkannya.
7.    Urf atau adat istiadat yang tidak bertentangan dengan hukum islam dapat dikukuhkan tetap terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan[7].
C.  PERBANDINGAN HADITS DENGAN ALQURAN
a.      Persamaannya
Hadits dan Alquran sama-sama sumber ajaran Islam, bahkan pada hakikatnya kedua-duanya sama-sama wahyu dari Allah Subhana wa Ta’ala.
b.      Perbedaannya
Walaupun keduanya sama, tetapi tidaklah sama persis melainkan terdapat perbedaan, yaitu:
a.       Alquran adalah kalamullah yang diwahyukan Allah Subhana wa Ta’ala lewat Malaikat Jibril secara lengkap berupa lafadh dan sanadnya sedangkan hadits berasal dari Rasulullah sendiri.
b.      Membaca Alquran hukumnya adalah ibadah dan syah membaca ayat-ayatnya di dalam shalat sementara tidak demikian dengan hadits.
c.       Keseluruhan ayat Alquran diriwayatkan oleh Rasulullah secara mutawatir, yaitu periwayatan yang menghasilkan ilmu yang pasti dan yakin keontetikannya pada setiap generasi dan waktu. Maka nash-nash Alquran bersifat pasti wujud atau qoth’i assubut.
d.      Hadits sebagian besar bersifat ahad dan zhanni al wurud yaitu tidak diriwayatkan secara mutawatir kalaupun ada, hanya sedikit sekali yang mutawatir kalaupun ada, hanya sedikit sekali yang mutawatir lafaz dan maknanya sekaligus.
e.       Memiliki hukum dasar yang isinya pada umumnya bersifat mujmal dan mutlak sedangkan hadits sebagai ketentuan-ketentuan pelakasanaan (praktisnya)[8].




Sumber
1.    Alinda, E.A.et.al. Aliran-Aliran dalam Agama Islam. [Online]. Tersedia: http://web.unair.ac.id/admin/file/f_32373_aliranagamaislam.pdf, [13 Maret 2017]
2.    Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Berbagai Pendekatan dan Metode dalam Studi Islam. [Online]. Tersedia: http://dualmode.kemenag.go.id/file/dokumen/MSI3.pdf, [12 Maret 2017]
3.    Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Hadits Sebagai Sumber Ajaran Agama Islam. [Online]. Tersedia: http://dualmode.kemenag.go.id/file/dokumen/MSI5.pdf [13 Maret 2017]
5.    Soedewo, P.K.(2007). Islam dan Ilmu Pengetahuan. [Online]. Tersedia: http://aaiil.org/indonesia/indonesianbooksislamahmadiyya/soedewo/islamilmupengetahuan/islamilmupengetahuanislamsciences.pdf, [13 Maret 2017]
6.    Sterigma, S.M. Sumber-Sumber Hukum Islam. [Online]. Tersedia: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/124068-PK%20I%202079.8167-Tinjauan%20terhadap-Tinjauan%20umum.pdf [13 Maret 2017]




[1] Soedewo, P.K, “Islam dan Ilmu Pengetahuan”, diakses dari http://aaiil.org/indonesia/indonesianbooksislamahmadiyya/soedewo/islamilmupengetahuan/islamilmupengetahuanislamsciences.pdf, pada tanggal 13 Maret 2017 pukul 14.37
[2] Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, “Hadits Sebagai Sumber Ajaran Agama Islam”,diakses dari http://dualmode.kemenag.go.id/file/dokumen/MSI5.pdf, pada tanggal 13 Maret 2017 14.37
[3] Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, “Berbagai Pendekatan dan Metode dalam Studi Islam”,diakses dari http://dualmode.kemenag.go.id/file/dokumen/MSI3.pdf, pada tanggal 12 Maret 2017 15.13
[4] Elha Ayu Alinda, et.al, “ Aliran-Aliran dalam Agama Islam”,diakses dari http://web.unair.ac.id/admin/file/f_32373_aliranagamaislam.pdf, pada tanggal 13 Maret 2017 14.44
[6] Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, op.cit.
[7] Sylli Meliora Sterigma, “Sumber-Sumber Hukum Islam”, diakses dari http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/124068-PK%20I%202079.8167-Tinjauan%20terhadap-Tinjauan%20umum.pdf, pada tanggal 13 Maret 2017 14.38
[8] Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, op.cit.

0 komentar:

Posting Komentar