Agama ialah ilmu atau
ideologi dan rencana atau system yang didasarkan atas idologi itu. Dalam Islam,
ideologi adalah system hubungan (relation) antara ide yang
terbit atau terpancar dengan lengkapnya dari satu ide asasi, yaitu “keesaan ilahi”
(Ahadiyah atau Wahdaniyah), dan ini merupakan satu kesatuan yang selaras. Tentang sistem hidup islam dikatakan dalam Qur’an suci, bahwa sistem itu sesuai dengan tempat kedudukan manusia disemesta alam. Oleh sebab itu sudah sewajarnya manusia harus melaksanakan prannanya dalam evolusi kreatif yang dilancarkan oeh Allah Subhana wa Ta’ala Rabbul Alamin, Sebagaimana halnya dijalankan oleh seluruh ciptaan-Nya. Kesemuanya dibentangkan panjang lebar dalam Quran suci dan ditafsirkan oleh nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam dengan ucapan dan perbuatan (sunnah)[1].
(Ahadiyah atau Wahdaniyah), dan ini merupakan satu kesatuan yang selaras. Tentang sistem hidup islam dikatakan dalam Qur’an suci, bahwa sistem itu sesuai dengan tempat kedudukan manusia disemesta alam. Oleh sebab itu sudah sewajarnya manusia harus melaksanakan prannanya dalam evolusi kreatif yang dilancarkan oeh Allah Subhana wa Ta’ala Rabbul Alamin, Sebagaimana halnya dijalankan oleh seluruh ciptaan-Nya. Kesemuanya dibentangkan panjang lebar dalam Quran suci dan ditafsirkan oleh nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam dengan ucapan dan perbuatan (sunnah)[1].
Islam adalah sistem nilai dan ajaran Illahiyah yang
bersifat transendental. Sebagai suatu
sistem universal, Islam
akan selalu hadir dinamis dan menyegarkan serta akan
selalu mampu menjawab berbagai tantangan zaman[2]
dan mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.
Dalam Islam, segala hal yang menyangkut kebutuhan manusia, dipenuhi secara
lengkap. Semuanya diarahkan agar manusia mampu menjalani kehidupan yang lebih
baik dan manusiawi sesuai dengan kodrat kemanusiaannya (Hasan al- Banna, 1976:
2). Jika hal itu dilakukan, maka akan selamat dalam kehidupan dunia dan
akhirat. Sebagai sebuah sistem, Islam memiliki sumber ajaran yang lengkap, yakni
Alquran dan Hadits. Rasulullah menjamin, jika seluruh manusia memegang teguh Alquran
dan Hadits dalam kehidupannya, maka ia tidak akan pernah tersesat selamalamanya
(HR. Muslim). Alquran, dipandang sebagai sumber ajaran dan sumber hukum Islam
yang pertama dan utama, sedangkan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Nilai kebenaran Alquran bersifat mutlaq (absolut, qath’i),
karena Alquran merupakan wahyu Allah
Subhana wa Ta’ala yang transcendental, sangat agung, mengandung mu’jizat,
dan tidak akan ada seorang pun yang mampu membuat tandingannya. Hadits
sebagai sumber hukum kedua setelah Alquran merupakan sabda, prilaku, dan
ketetapan Rasulullah yang tidak mungkin keliru. Sebab Rasulullah adalah manusia
pilihan Allah Subhana wa Ta’ala dan
Rasul Allah Subhana wa Ta’ala yang
dipelihara dari kekeliruan. Beliau dibimbing oleh kekuatan wahyu Allah Subhana wa Ta’ala dalam menjalani
kehidupannya. Persoalan kebenaran hadits terletak dari periwayatannya, ada yang
lemah (dlaif) dan ada yang kuat dan bisa dijadikan sebagai hujjah
(shahih dan hasan).yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam
Islam, segala hal yang menyangkut kebutuhan manusia, dipenuhi secara lengkap. Semuanya
diarahkan agar manusia mampu menjalani kehidupan yang lebih baik dan manusiawi
sesuai dengan kodrat kemanusiaannya. Jika hal itu dilakukan, maka akan selamat
dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Sebagai sebuah sistem, Islam memiliki sumber ajaran
yang lengkap, yakni Alquran dan Hadits. Rasulullah menjamin, jika seluruh
manusia memegang teguh Alquran dan Hadits dalam kehidupannya, maka ia tidak
akan pernah tersesat selamalamanya (HR. Muslim). Alquran, dipandang sebagai
sumber ajaran dan sumber hukum Islam yang pertama dan utama, sedangkan hadits
merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Nilai kebenaran Alquran bersifat mutlaq (absolut, qath’i),
karena Alquran merupakan wahyu Allah
Subhana wa Ta’ala yang transcendental, sangat agung, mengandung mu’jizat,
dan tidak akan ada seorang pun yang mampu membuat tandingannya. Hadits
sebagai sumber hukum kedua setelah Alquran merupakan sabda, prilaku, dan
ketetapan Rasulullah yang tidak mungkin keliru. Sebab Rasulullah adalah manusia
pilihan Allah Subhana wa Ta’ala dan
Rasul Allah Subhana wa Ta’ala yang
dipelihara dari kekeliruan. Beliau dibimbing oleh kekuatan wahyu Allah Subhana wa Ta’ala dalam menjalani
kehidupannya. Persoalan kebenaran hadits terletak dari periwayatannya, ada yang
lemah (dlaif) dan ada yang kuat dan bisa dijadikan sebagai hujjah
(shahih dan hasan)[3].
PEMBAHASAN
A. Pengertian Agama
Islam
Islam berasal dari kata, as-salamu, as-salmu, dan as-silmu
yang berarti: menyerahkan diri, pasrah, tunduk, dan patuh. Berasal dari
kata as-silmu atau as-salmu yang berarti damai dan aman. Berasal
dari kata as-salmu, as-salamu, dan as-salamatu yang berarti bersih dan selamat
dari kecacatan-kecacatan lahir dan batin. Pengertian Islam menurut istilah
yaitu, sikap penyerahan diri (kepasrahan, ketundukan, kepatuhan) seorang hamba
kepada Tuhannya dengan senantiasa melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya, demi mencapai kedamaian dan keselamatan hidup, di dunia maupun di
akhirat.
Islam itu memiliki delapan saham;
Islam itu sendiri merupakan saham, shalat juga termasuk saham, zakat adalah
saham, shaum adalah saham, Haji termasuk saham, amar ma'ruf termasuk saham,
nahi munkar termasuk saham, berjihad termasuk saham, maka celakalah orang yangn
tidak memiliki saham itu. (HR. Al Bazzar)
Siapa saja yang menyerahkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah Subhana wa Ta’ala, maka ia seorang
muslim, dan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah Subhana wa Ta’ala dan selain Allah Subhana wa Ta’ala maka ia seorang musyrik, sedangkan seorang yang
tidak menyerahkan diri kepada Allah
Subhana wa Ta’ala maka ia seorang kafir yang sombong. Dalam pengertian
kebahasan ini, kata Islam dekat dengan arti kata agama. Senada dengan hal itu
Nurkholis Madjid berpendapat bahwa sikap pasrah kepada Tuhan adalah merupakan
hakikat dari pengertian Islam. Dari pengertian itu, seolah Nurkholis Madjid
ingin mengajak kita memahami Islam dari sisi manusia sebagai yang sejak dalam
kandungan sudah menyatakan kepatuhan dan ketundukan kepada Tuhan, sebagaImana
yang telah diisyaratkan dalam surat al-A‟raf ayat 172 yang artinya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah Subhana wa Ta’ala mengambil kesaksian terhadapjiwa
mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab “Betul
(Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukanyang demikian itu) agar
di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yanglengah terhadap Ini (keesaan Tuhan).
Berkaitan dengan Islam sebagai agama, maka tidak dapat terlepas dari
adanya unsur-unsur pembentuknya yaitu berupa rukun Islam, yaitu; membaca dua
kalimat Syahadat, mendirikan sholat lima waktu, Menunaikan zakat, Puasa Ramadhan,
Haji ke Baitullah jika mampu[4].
B. Sumber Agama Islam
a.
Al-Qur’an
Definisi Al-Qur’an menurut beberapa pendapat secara bahasa
berarti saling berkaitan, berhubungan antara satu ayat dengan ayat lain, dan
berarti pula bacaan. Pengertian ini memperlihatkan kedudukan Al-Qur’an sebgai
kitabullah yang ayat-ayat dan surat-suratnya saling berhubungan, dan ia
merupakan bacaan bagi keum muslimin.
Menurut Manna’ al-Qathan, Al-Qur’an kalamullah yang
diturunkan kepada Muhammad Shallallahu
alaihi wa salam dan membaca adalah ibadah. Term kalam sebenarnya meliputi seluruh perkatan, namun karna istilah itu
disandarkan (diidhafatkan) kepada Allah
Subhana wa Ta’ala (kalamullah), maka tidak termasuk dalam istilah Al-Qur’an
perkataan yang berasal selain dari Allah
Subhana wa Ta’ala, seperti perkataan manusia, jin dan malaikat. Dengan
rumusan yang diturunkan kepada nabi Muhammad Shallalhu alaihi wa Salam, seperti
Zabur, Taurat dan injil. Selanjutnya dengan rumusan “membancanya adalah ibadah”
maka tidak termasuk hadits-hadits nabi.
Al-Qur’an adalah firman Allah Subhana wa Ta’ala yang diturunkan kepada hati Rasullullah Muhammad
bin Abdullah melalui Jibril alaihi salam dengan lafal-lafalnya yang berbahasa
arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi Rasul, bahwa ia benar
Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam,
menjadi undang-undan bagi manusia, memberi ptunjuk kepada mereka, dan menjadi
sarana pendekatan diri dan ibadah kepada Allah Subhana wa Ta’ala dengan mebacanya. Al-Qur’an itu tehimpun dalam
mushaf, dimulai dengan surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas,
disampaikan kepada kita secara mutawattir dari generasi ke generasi secara
tulisan maupun lisan. Ia terpelihara dari perubahan atau pergantian.
Terdapat sifat-sifat yang membedakan Al-Qur’an dan
kitab-kitab lainnya. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Isi Al-Qur’an
Dari segi isi, Al-Qur’an adalah kalamullah atau firman Allah Subhana wa Ta’ala. Dengan sifat ini,
ucapan Rasulullah, malaikat, jin dan sebagainya tidak dapat disebut Al-Qur’an.
Kalamullah mepunyai keistimewaan-keistimewaan dalam 86 surah periode Makkah
(Makkiyah) dan pada periode Madinah (Madaniyah) sebanyak 1456 ayat yang
tercakup dalam 28 surah.
2. Pembawanya
Dari segi pembawanya, Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam bin Abdullah
seorang Rasul yang dikenal bergelar Al-Amin (Terpercaya). Ini berarti bahwa
wahyu tuhan yang disampaikan kepada nabi lainnya tidak dapat disebut Al-Qur’an.
Al-Qur’an memberi informasi bahwa ia diturunkan dari Lauh Mahfudz ke
dunia melalui malaikat jibril. Lauh Mahfudz adalah tempat terpelihara secara
apik dari gangguan dan pengrusakan.
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa
salam diutus Allah Subhana wa Ta’alau
alaihi wa salam sebagai pembawa Al-Qur’an dianugrahi sifat-sifat mulia yang
mustahil ia berdusta. Kehebatan Nabi Muhammad ShallAllah Subhana wa Ta’alau alaihi sallam tidak hanya diakui oleh kaum
muslimin, tetapi juga oleh penulis barat atau orientalis. Michael Hart,
misalnya dalam bukunya The 100, a Ranking
of The Man Influential Persons in History (100 tokoh yang paling berpengaruh
dalam sejarah) menempatkan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam pada urutan teratas. Penempatan ini
didasarkan pada alasan bahwa beliau satu-satunya manusia dalam sejarah yang
berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupuun
ruang lingkup duniawi. Beliau adalah seorang ummy tak pandai membaca dan menulis.
3. Fungsinya
Dalam definisi Al-Qur’an tersebut di atas disebutkan bahwa Al-Qur’an antara
lain berfungsi sebagai dalil atau petunjuk atas kerasulan Muhammad Shallallahu alaihi wa salam, pedoman
hidup bagi umat manusia, menjadi ibadah bagi yang membacanya, serta pedoman dan
sumber petunjuk dalam kehidupan.
Sifat bacaan menghendaki dekatnya lidah dan telinga serta masuknya bacaan
itu ke dalam pikiran dan hati manusia. Sifat ini mengisyaratkan fungsi Al-Qur’an
untuk dihayati dan kemudian menjadi pedoman hidup bagi manusia.
Al-Qur’an disampaikan kepada kita dengan cara
mutawatir, dalam arti, disampaikan oleh sejumlah orang yang semuanya sepakat
bahwa ia benar-benar wahyu Allah Subhana
wa Ta’ala Subhana wa Ta’Ala, terpelihara dari perubahan atau pergantian.
Tujuan Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur itu adalah agar Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam dan para
sahabatnya dapat menyimak, memahami dan mengamalkan serta memeliharanya dengan
baik. Rasulullah Shallallahu alaihi wa
salam membacakannya dihadapan para sahabat secara perlahan-lahan dan para
sahabat membacanya sedikit demi sedikit.
Al-Qur’an mempunyai nama yang bermacam-macam.
Ada yang menyebutnya berjumlah 55 nama. Ada pula yang mengatakan 90 nama. Namun
dari sekian banyak nama tersebut yang termasyhur hanya empat, yaitu Al-Qur’an
itu sendiri, Al-Kitab, Al-Furqan dan Adz-Dzikr.
Dari sejarah turunnya Al-Qur’an
bahwa Al-Qur’an mengandung pokok-pokok ajaran sebagai berikut:
a. Pokok-pokok keyakinan atau keimanan terhadap Allah Subhana wa Ta’ala, malaikat,
kitab-kitab, rasul-rasul dan hari akhir.
b. Pokok-pokok peraturan atau hukum, yaitu garis-garis besar aturan
tentang hubunngan dengan Allah Subhana wa
Ta’ala, antara manusia dan hubungan manusia dengan alam yang melahirkan
syariat, hukum atau ilmu fiqh.
c. Pokok-pokok aturan akhlah yang menerangkan norma-norma keagamaan
dan susila yang harus diikiti oleh manusia dalam kehidupannya secara individu
atau kolektif.
d. Pokok-pokok dasar tentang tanda-tanda alam yang menunjukkan
eksistensi dan kebesaran Tuhan sebagai pencipta.
e. Kisah-kisah para Nabi dan umat terdahulu
f. Informasi tentang alam gaib, seperti adanya jin, kiamat, surga
dan neraka[5].
b.
Hadits
1. Pengertian
Secara
etimologis, hadits memiliki makna sebagai berikut:
a. Jadid, lawan qadim: yang baru (jamaknya hidats, hudatsa, dan huduts);
b. Qarib,
yang dekat, yang belum lama terjadi;
c. Khabar,
warta, yakni: sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada
seseorang yang lain (Hasbi Asshiddiqy, 1980: 20).
Adapun pengertian Hadits secara terminologis menurut Ahli
Hadits: “Segala ucapan, segala perbuatan
dan segala keadaan atau perilaku Nabi Shallallahu
alaihi wa salam”. Definisi di atas menyatakan bahwa yang termasuk dalam
kategori hadits adalah perkataan nabi (qauliyah), perbuatan nabi (fi’liyah),
dan segala keadaan Nabi (ahwaliyah). Di samping itu, sebagian ahli
hadits menyatakan bahwa, masuk juga ke dalam keadaannya; segala yang
diriwayatkan dalam kitab sejarah (shirah), kelahiran dan keturunannyanya
(silsilah) serta tempat dan yang bersangkut paut dengan itu, baik sebelum
diangkat menjadi nabi/rasul, maupun sesudahnya. Sebagian ulama seperti Ath
Thiby berpendapat bahwa “Hadits itu melengkapi sabda Nabi, perbuatan beliau dan
taqrir beliau. Melengkapi perkataan, perbuatan, dan taqrir Sahabat. Sebagaimana
melengkapi perkataan, perbuatan, dan taqrir Tabi’in. Maka sesuatu Hadits yang
sampai kepada dinamai marfu’, yang sampai kepada Sahabat dinamai mauquf
dan yang sampai kepada Tabi’in dinamai maqthu.
2. Kedudukan dan Fungsi Hadits
a.
Kedudukan Hadits
Kedudukan
hadits dari segi statusnya sebagai dalil dan sumber ajaran Islam, menurut
jumhur ulama adalah menempati posisi kedua setelah Alquran 45. Hal tersebut
terutama ditinjau dari segi wurud atau tsubutnya adalah bersifat qath’i,
sedangkan hadits kecuali yang berstatus mutawatir sifatnya adalah zhanni
al-wurud. Oleh karenanya yang bersifat qath’i (pasti) didahulukan
daripada yang zhanni (relatif).
Hadits Nabi
Shallallhu alaihi wa salam merupakan
penafsiran dalam praktek-praktek penerapan ajaran Islam secara faktual dan
ideal, dan umat Islam diwajibkan mengikuti hadits sebagaimana diwajibkan
mengikuti Alquran. Untuk mengetahui sejauhmana kedudukan hadits sebagai sumber
hukum Islam dapat dilihat dari dalil naqli maupun dalil aqli.
Banyak ayat
Alquran yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang
disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup, dalam Firman
Allah Subhana wa Ta’ala dalam Q.S.
al-Hasyr :7 yang artinya:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnyabagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah
kepada Alla. Sungguh, Allah Subhana wa Ta’ala sangat keras hukuman-Nya”
Allah Subhana wa Ta’ala berfirman dalam Q.S.
Ali Imran: 31 artinya:
“Katakanlah hai Muhammad, jika kamu sekalian
cinta kepada Allah Subhana wa Ta’ala maka ikutilah aku (Rasul) niscaya Allah
Subhana wa Ta’ala akan mencintai kamu serta mengampuni dosa-dosamu”
Bentuk-bentuk
ayat di atas menunjukan betapa pentingnya kedudukan penetapan kewajiban taat
terhadap semua yang disampaikan oleh Rasul Shallallahu
alaihi wa salam. Dalam salah satu pesan Rasulullah Shallallhu alaihi wa salam berkenaan dengan keharusan menjadikan
hadits sebagai pedoman hidup, di samping Alquran sebagai pedoman utamanya
beliau, bersabda:
“Aku tinggalkan 2 pusaka untukmu sekalian yang
kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu
berupa kitab Allah Subhana wa Ta’ala dan sunnah rasul-Nya”Metodologi Studi Islam
b.
Fungsi Hadits
Ulama menetapkan 4 macam
fungsi hadits terhadap Alquran yaitu:
ü Bayan at-Taqrir
Bayan at-Taqrir disebut juga dengan bayan at-Ta’kid dan
bayan al-Isbat. Maksudnya ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah
diterangkan di dalam Alquran. Hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah
menerangkan: Rasulullah Shallallhu alaihi
wa salam bersabda: “Tidak diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum
ia berwudhu.”
Hadits ini mentaqrir ayat Alquran Surat al-Maidah ayat 6 mengenai
keharusan berwudhu ketika seseorang akan mendirikan shalat, yang dimaksud
berbunyi: “Hai orang-orang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat
maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu kakiku:
kedua mata kaki.”
ü Bayan At-Tafsir
Bayan at-Tafsir adalah memberikan rincian dan tafsiran terhadap
ayat-ayat Alquran yang masih mujmal memberikan persyaratan ayat-ayat
Alquran yang masih mutlak dan memberikan penentuan khusus ayat-ayat Alquran
yang masih umum.
ü Bayan At-Tasyri
Bayan at-Tasyri adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran
yang tidak didapati dalam Alquran. Bayan ini disebut juga dengan bayan za’id
ala al kitab alkarim.
ü Bayan An-Nasakh
Kata an-nasakh secara bahasa bermacam-macam arti, bisa
berarti al-ibtal (membatalkan), al ijalah (menghilangkan) atau at
tahwil (memindahkan) atau attaqyir (mengubah) menurut pendapat yang
dapat dipegang, dari Ulama Mutaqaddimin bahwa yang disebut bayan an-nasakh ialah
adanya dalil syara’ yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada, karena
datangnya kemudian[6].
c.
Ijtihad ulil amri
Dalam kamus bahasa Arab, Al-Munjid,
susunan Ma’luf al Yasu’i Beirut, ijtihad diartikan bersungguh-sungguh sehabis
usaha. Menurut Abdul Hamid Hakim, arti ijtihad dari segi tehnis hukum adalah
bersungguh-sungguh sekuat-kuatnya untuk mencapai hukum syari’i dengan jalan
mengambil hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan menurut kata-kata atau
bahasa, menurut A.Hamid Hakim, ijtihad berarti bersungguh-sungguh yaitu
bersusah payah. Imam Syafi’i sendiri
menyamakan arti ijtihad dengan arti qiyas yaitu berijtihad berarti
menjalankan qiyas atau membandingkan suatu hukum kepada suatu hukum yang lain,
ijtihad diartikan secara sempit. Menurut M. Hasbi Ash-Siddieqy ijtihad dalam
arti luas adalah mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum
syara’ dari kitab Allah Subhana wa Ta’ala
dan hadits Rasul.
Pembentukan hukum sesuatu hal biasanya
tidak hanya dibahas dari segi ijtihad saja, tapi juga dari segi taqlid. Ijtihad
berada di pihak paling tinggi berupa mengeluarkan hukum dari alasan-alasannya .
Orang yang bertaqlid disebut Muqallid, tidaklah salah. Yang dapat dikatan salah
adalah Muqallid yang tidak mau berusaha mengetahui alasan tentang suatu
persoalan dan yang lebih dapat dipersalahkan adalah orang yang berusaha agar
orang lain bertaqlid selalu dihalang-halangi untuk mengetahui alasan
sebenarnya.
Ijtihad merupakan pembentukan garis
hukum dengan meneliti bahasa arab yang menafsirkan kata demi kata dan
mengetahui dasar Ushul Fiqh. Di samping itu, mereka tidak terlepas daripada
dapat mebedakan hukum adat, hukum akal dan hukum syara’. Para mujtahid perlu
mempunyai syarat sebagai berikut:
-
Benar- benar
mengetahui nash-nash (ketentuan-ketentuan) Al-Qur’an dan Hadits yang
berhubungan sengan maslah diijtihadkannya.
-
Benar-benar
mengetahui atau mengerti bahasa arab yang hendak ditafsirkan serta mengerti
susunan Al-Qur’an sehingga ia dapat mengambil hukum dengan teliti.
-
Beteul-beul tahu
dengan ilmu hadits sehingga ia dapat membedakan antar hadits yang dapat menjadi
dalil dengan hadits dla’if.
-
Mengetahui tiang
dan dasar utama untuk berijtihad yakni ilmu Ushul Fiqh.
Ada beberapa cara atau metode yang
melakukan ijtihad, baik ijtihad yang dilakukan sendiri-sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain. Metode tersebut diantaranya:
1. Ijma’,
yakni persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli suatu masalah (hukum
syariat mengenai suatu kejadian/kasus) pada suatu tempat di suatu massa yang
diperoleh sengan suatu cara ditempat yang sama.
2. Qiyas
adalah menyamkan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya salam Al-Qur’an
dan Al-Hadits dengan hal lain hukumnya disebut dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits
karena ada persamaan illat (penyebab atau alasan dasar hukumnya) yang tidak
lain ukurang yang dipergunakan oleh akal budi untuk membanding suat hal dengan
hal lain.
3. Istidal
adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan.
4. Maslahat
Mursalah adalah menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya
baik dalam Al-Qur’an maupun dalam kitab-kitab hadits, berdasarkan pertimbangan
kemaslahatan masyarakaat atau kepentingan umum.
5. Istihsan
menurut bahasa adalah menganggap baik, dapat diartikan istihsan sebagai cara
menentukan hukum dengan jalan yang menyimpang dari ketentuan yang sudah ada
demi keadilan dan kepentingan sosial.
6. Istisab
adalah menetapkan hukum sesuatu ha menrut keadaan yang terjadi sebelumnya,
sampai ada dalil yang mengubahnya. Dengan kata lain, istisab adalah
melangsungkan berlakunya hukum yang telah ada karena belum ada ketentuan lain
yang membatalkannya.
7. Urf
atau adat istiadat yang tidak bertentangan dengan hukum islam dapat dikukuhkan
tetap terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan[7].
C. PERBANDINGAN HADITS DENGAN ALQURAN
a.
Persamaannya
Hadits dan
Alquran sama-sama sumber ajaran Islam, bahkan pada hakikatnya kedua-duanya
sama-sama wahyu dari Allah Subhana wa
Ta’ala.
b.
Perbedaannya
Walaupun
keduanya sama, tetapi tidaklah sama persis melainkan terdapat perbedaan, yaitu:
a.
Alquran
adalah kalamullah yang diwahyukan Allah Subhana wa Ta’ala lewat Malaikat Jibril secara lengkap berupa
lafadh dan sanadnya sedangkan hadits berasal dari Rasulullah sendiri.
b.
Membaca
Alquran hukumnya adalah ibadah dan syah membaca ayat-ayatnya di dalam shalat
sementara tidak demikian dengan hadits.
c.
Keseluruhan
ayat Alquran diriwayatkan oleh Rasulullah secara mutawatir, yaitu periwayatan
yang menghasilkan ilmu yang pasti dan yakin keontetikannya pada setiap generasi
dan waktu. Maka nash-nash Alquran bersifat pasti wujud atau qoth’i assubut.
d.
Hadits
sebagian besar bersifat ahad dan zhanni al wurud yaitu tidak
diriwayatkan secara mutawatir kalaupun ada, hanya sedikit sekali yang mutawatir
kalaupun ada, hanya sedikit sekali yang mutawatir lafaz dan maknanya sekaligus.
e.
Memiliki
hukum dasar yang isinya pada umumnya bersifat mujmal dan mutlak sedangkan
hadits sebagai ketentuan-ketentuan pelakasanaan (praktisnya)[8].
Sumber
1. Alinda, E.A.et.al.
Aliran-Aliran dalam Agama Islam. [Online]. Tersedia: http://web.unair.ac.id/admin/file/f_32373_aliranagamaislam.pdf, [13 Maret 2017]
2.
Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam. Berbagai Pendekatan dan Metode dalam
Studi Islam. [Online]. Tersedia: http://dualmode.kemenag.go.id/file/dokumen/MSI3.pdf, [12 Maret 2017]
3.
Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam. Hadits Sebagai Sumber Ajaran Agama Islam. [Online]. Tersedia: http://dualmode.kemenag.go.id/file/dokumen/MSI5.pdf [13 Maret
2017]
4.
Kurniawati, R. Pendidikan
Agama. [Online]
.Tersedia: http://modul.mercubuana.ac.id/files/pbael/pbaelmercubuanaacid/Modul%20Backlink/Nure/Modul%20Asli%20Ganjil%202009-2010/Psikologi/RINA%20KURNIAWATI%20-%20PENDIDIDKAN%20AGAMA/ModulPendidikanAgamaIslamGJ0910TM2.pdf [13 Maret
2017]
5.
Soedewo,
P.K.(2007). Islam dan Ilmu Pengetahuan. [Online]. Tersedia: http://aaiil.org/indonesia/indonesianbooksislamahmadiyya/soedewo/islamilmupengetahuan/islamilmupengetahuanislamsciences.pdf, [13 Maret 2017]
6.
Sterigma, S.M. Sumber-Sumber
Hukum Islam. [Online]. Tersedia: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/124068-PK%20I%202079.8167-Tinjauan%20terhadap-Tinjauan%20umum.pdf [13 Maret
2017]
[1] Soedewo,
P.K, “Islam dan Ilmu Pengetahuan”, diakses dari http://aaiil.org/indonesia/indonesianbooksislamahmadiyya/soedewo/islamilmupengetahuan/islamilmupengetahuanislamsciences.pdf,
pada tanggal 13 Maret 2017 pukul 14.37
[2] Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam, “Hadits Sebagai Sumber Ajaran Agama Islam”,diakses
dari http://dualmode.kemenag.go.id/file/dokumen/MSI5.pdf,
pada tanggal 13 Maret 2017 14.37
[3] Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam, “Berbagai Pendekatan dan Metode dalam Studi
Islam”,diakses dari http://dualmode.kemenag.go.id/file/dokumen/MSI3.pdf,
pada tanggal 12 Maret 2017 15.13
[4] Elha
Ayu Alinda, et.al, “ Aliran-Aliran dalam Agama Islam”,diakses dari http://web.unair.ac.id/admin/file/f_32373_aliranagamaislam.pdf,
pada tanggal 13 Maret 2017 14.44
[5] Rina
Kurniawati, “Pendidikan Agama”, diakses dari http://modul.mercubuana.ac.id/files/pbael/pbaelmercubuanaacid/Modul%20Backlink/Nure/Modul%20Asli%20Ganjil%202009-2010/Psikologi/RINA%20KURNIAWATI%20-%20PENDIDIDKAN%20AGAMA/ModulPendidikanAgamaIslamGJ0910TM2.pdf,
pada tanggal 13 Maret 2017 pukul 14.38
[7] Sylli
Meliora Sterigma, “Sumber-Sumber Hukum Islam”, diakses dari http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/124068-PK%20I%202079.8167-Tinjauan%20terhadap-Tinjauan%20umum.pdf,
pada tanggal 13 Maret 2017 14.38
[8] Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam, op.cit.
0 komentar:
Posting Komentar