Rabu, 07 Juni 2017

Hukum Qawaid Fiqhiyah Keyakinan dan Keraguan


Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan dengan hak Allah maupun hak عدمي, setelah dia lahir muncullah hak dan kewajiban pada dirinya.
Anak kecil lepas dari tanggung jawab melakukan kewajiban sampai datangnya waktu baligh. Tidak ada hak dan kewajiban antara pria dan wanita yang bersifat pernikahan sampai terbukti adanya akad nikah. Demikian seterusnya sampai ada hal yang mengubahnya[1].
Ajaran agama islam tidak pernah mempersulit umatnya. Justru, agama ini hadir di muka bumi untuk memberikan kemudahan dan jalan keluar dari kesulitan yang ada. Karena itu, segala sikap yang cenderung berlebih-lebihan dan mempersulit diri dalam beragama sangatlah tidak dibenarkan. Karena hal ini dapat menimbulkan sikap was-was. Karena itu, cara yang dianggap efektif untuk menghilangkan perasaan was-was itu adalah dengan melawan atau menentang perasaan was-was itu sendiri didasari ilmu dan keyakinan.
Keyakinan yang dimaksud disini adalah keyakinan yang benar-benar datang dari hatinya, bukan sekedar pura-pura yakin, apalagi dengan alasan malu kepada orang lain, karena malu kepada Allah harus lebih didahulukan. Secara etimologi اليقين adalah sesuatu yang menetap (الإستقرار), kepercayaan yang pasti (الجازم), teguh (الثبت), dan sesuai dengan kenyataan (المطابق لي الواقئ). Bisa juga dimaknai sebagai ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada kepastian dan kematapan hati tentang hakikat sesuatu itu, dalam arti tidak ada keraguan lagi.[2]
Dalam suatu perkara apabila terdapat keraguan, maka ditetapkan hukumnya seperti sedia kala, yakni sifat-sifat itu dianggap tidak pernah ada, apabila terjadi peselisihan akan adanya sebuah sifat yang baru ataukah tidak ada, maka yang dibenarkan adalah ucapan orang  yang berpegangan pada ketidaan, karena itulah hukum dasar segala sesuatu.[3] Dari sini menjadi jelaslah bahwa sesuatu yang hanya berdasar pada perasaan atau keraguan, tidak dapat dijadikan pedoman untuk memutuskan tentang sah atau tidaknya sesuatu.
Dalam penerapan kaidah اليقين لا يزال بالشك kemudian muncul kaidah-kaidah yang lebih sempit ruang lingkupnya. Dari berbagai cabang kaidah ini[4] kami akan membahas tiga cabang dalam makalah ini diantaranya:
A.  الأصل براءة الذمة (Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab).
B.  ما ثبت بيقين لا يرتفع إلا بيقين إنّ (Sesungguhnya apa yang sudah menetap atas dasar keyakinan, tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi).
C.  الأصل في الصفات العارضة العدم (Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada).

A.  Kaidah الأصل براءة الذمة
“Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab”
a.    Maksud Kaidah
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang behubungan dengan hak Allah maupun hak عدمي sesuai dengan kodratnya[5], manusia adalah mahluk yang suci tidak terbebani oleh dosa waris atau dosa akibat perbuatan orang tuanya. Adanya beban tanggung jawab adalah sebagai konsekuensi logis dari hak-hak yang telah dimiliki atau perbuatan-perbuatan yang dilakukannya setelah ia lahir.
b.   Dasar-Dasar Pengambilan Kaidah
Para ulama berpendapat bahwa anak buangan yang diketemukan orang, dipandang anak merdeka, bukan anak budak, sebab kemedekaannya itu menjadi asal. Sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam:
كُلُّ مَوْلُودِ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ حَتَّى يَعْرُبَ عَنْهُ لِسَانُهُ فَائَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُتَصِّرَانِهِ أَوْ يُمجِّسَانِهِ
“Semua anak dilahirkan atas dasar kesucian/kebersihan (dari segala dosa) dan pembawaan beragama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi yahudi, nasrani atau majusi”.
(HR. Abu Ya’la, Al-Thabrani, dan Al-Baihaqi dari Al-Aswad bin Sari’)[6]
Dan berdasarkan firman Allah dalam surah An-Najm ayat 38:
اَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرَى
“(yaitu) bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”.
(QS. An-Najm: 38)[7]
Dari dalil yang disebutkan diatas, terlihat bahwa fitrah manusia lahir dalam keadaan bebas dari tanggung jawab dan bersih dari dosa.
c.    Uraian Kaidah
Berdasarkan kaidah ini, sebagai contoh terjadi perselisihan dalam masalah ganti rugi barang titipan yang rusak. Maka dalam hal ini, yang dititipi barang tidak dibebani ganti rugi jika ia berani bersumpah tidak merusak barang titipan tersebut[8]. Keputusan ini  sesuai dengan konstruksi kaidah ini, berasal dari hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam:
البينة على المدعي واليمين على المدعى عليه
Mendatangkan bukti wajib atas orang yang mendakwa, sedangkan sumpah wajib atas orang yang didakwa. (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad).
Dengan hadis ini, menjadi jelas bahwa, tuntutan seorang pendakwa (المدعي) terhadap terdakwa (المدعي عليه) tidak dibenarkan selama pendakwa tidak mampu menunjukkan bukti dan menghadirkan saksi. Karena itu, jika bukti dan saksi tidak ada, maka pihak yang dibenarkan ucapannya adalah terdakwa beserta sumpahnya. Sebab jika menilik hukum-asal, terdakwa adalah pihak yang bebas dari tanggungan apapun.
Sementara kewajiban bersumpah bagi terdakwa didasarkan pada argumen pokok bahwa dia adalah pihak yang “meniadakan” (menafikan tuntutan pendakwa). Sementara orang yang meniadakan suatu hal tidak dapat dituntut untuk mendatangkan saksi ataupun bukti. Karenanya, terdakwa hanya diwajibkan bersumpah saja. Berbeda dengan pihak penuntut, ia harus mendatangkan saksi dan bukti karena ia berposisi sebagai pendakwa yang ingin mendapat legitimasi hukum atas dakwaannya[9].
B.       Kaidah ما ثبت بيقين لا يرتفع إلا بيقين إنّ
“Sesungguhnya apa yang sudah menetap atas dasar keyakinan, tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi”
a.    Maksud Kaidah
Keyakinan yang dimaksud disini adalah keyakinan yang benar-benar datang dari hatinya, bukan sekedar pura-pura yakin, apalagi dengan alasan malu kepada orang lain, karena malu kepada Allah harus lebih didahulukan. Secara etimologi اليقين adalah sesuatu yang menetap (الإستقرار), kepercayaan yang pasti (الجازم), teguh (الثبت), dan sesuai dengan kenyataan (المطابق لي الواقئ). Bisa juga dimaknai sebagai ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada kepastian dan kematapan hati tentang hakikat sesuatu itu, dalam arti tidak ada keraguan lagi.[10]
b.   Dasar-Dasar Pengambilan Kaidah
Bila dicermati sebenarnya kaidah ini adalah penjabaran dari kaidah pokok اليقين لا يزال بالشك, karena sesuatu yang yakin dengan apabila tidak bisa hilang dengan keraguan, maka dia itu akan bisa hilang dengan keyakinan juga. Sebagaimana dalam firman Allah surah Yunus ayat 36:
وَ مَا يَتَّبِعُ اَكْثَرُهُمْ اِلّا ااظَنَّا إنَّ الظَنَّ لَا يُغْنِيْ مِنَ الحَقِّ شَئًا إنَّ اللَّهَ عَلِيْمٌ بِمأ يَفْعَلُوْنَ
“Dan kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan. Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikit pun berguna untuk melawan kebenaran. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”
(QS. Yunus: 36)[11]
c.    Uraian Kaidah 
Bedasarkan kaidah ini, sebagai contoh jika seseorang yakin sudah melaksanakan shalat isya, tapi ia ragu sudah mencapai empat rakaat atau masih tiga rakaat. Maka dalam hal ini, ia harus menambah satu rakaat lagi, karena yang sudah pasti yakin adalah ia sudah melaksanakan tiga rakaat[12]. Contoh kedua, ketika seseorang tidak yakin telah melakukan الطلق kepada istrinya, maka dia dianggap belum bercerai karena yang ia yakini adalah pernikahannya bukan  الطلق atau perceraiannya[13].
C.      Kaidah  الأصل في الصفات العارضة العدم
“Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada”
a.    Maksud Kaidah
Maksud dari kata-kata (الصفات العارضة) ialah sifat yang tidak terdapat pada dasarnya, atau sifat yang datang kemudian. Jadi, dalam suatu perkara apabila terdapat keraguan karena datangnya sifat seperti di atas, maka ditetapkan hukumnya seperti sedia kala, yakni sifat-sifat itu dianggap tidak pernah ada[14], apabila terjadi peselisihan akan adanya sebuah sifat yang baru ataukah tidak ada, maka yang dibenarkan adalah ucapan orang  yang berpegangan pada ketiadaan, karena itulah hukum dasar segala sesuatu[15]. Sifat-sifat berdasarkan ada atau tidak adanya terbagi atas dua bagian[16]:
ü Bagian pertama, sifat-sifat yang keberadaannya pada sesuatu adalah baru, dalam arti bahwa sesuatu itu berdasarkan tabiatnya kosong dari sifat-sifat itu pada umumnya. Inilah yang disebut dengan sifat-sifat yang baru, karena  adanya sifat tersbut baru datang setelah adanya sesuatu itu sendiri sedangkan kaidah asal pada sifat-sifat ini adalah العدم (tidak ada). Sama atau disamakan atau kedudukannya sama dengan sifat-sifat itu adalah prkara-perkara yang kebradaannya didahului olh tidak ada, seperti berbagai macama jenis akad, tindakan, dan perbuatan.
ü Bagian kedua, sifat-sifat yang keberadaannya pada sesuatu bersamaan dengan keberadaan sesuatu itu sendiri artinya, keberadaannya berbarengan dengan adanya sesuatu itu, sehingga scara alami sesuatu itu termasuk bagian darinya atau scara umum termasuk bagian darinya. Inilah yang disebut dengan sifat asli. Sedangkan kaidah asal dari sifat-sifat itu adalah الوجد misalnya, keperawanan pada anak gadis. Disamakan dengan sifat asli adalah sifat baru yang kebradaannya ditetapkan pada suatu waktu, maka kaidah asal pada sifat tersebut adalah البقئ (terus menerus ada) setelah keberadaannya ditetapkan.
b.      Uraian Kaidah
Berdasarkan kaidah ini, sebagai contoh  terjadi perselisihan dalam transaksi jual beli mengenai sah atau tidak sahnya jual beli tersebut. Maka pendapat yang dimenangkan adalah perkataan orang yang menyatakan batal, karena hal ini berarti mengingkari terjadinya akad. Sebab secara hukum, asal yag benar adalah tidak atau belum terjadi akad. Contoh kedua, terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang ada atau tidaknya cacat barang yang diperjual belikan, maka yang dimenangkan disini adalah perkataan si penjual, karena pada asalnya cacat itu tidak ada dan transaksi jual beli sudah berlangsung secara sah tanpa ada gugatan. Namun, ada pengecualian jika si pembeli bisa memberikan bukti yang meyakinkan bahwa cacat barang itu sudah ada ketika barang tersebut masih berada di tangan penjual[17].

KESIMPULAN
1.    Cara menghadapi segala sesuatu yang meragukan adalah menggunakan dasar ilmu keyakinan.
2.    Pada dasarnya manusia ketika dilahirkan adalah keadaan bebas dari kewajiban, hingga waktu usianya mencapai hukum yang ditetapkan.
3.    Dalam suatu perkara apabila terdapat keraguan, maka ditetapkan hukumnya seperti sedia kala.
4.    Apabila terjadi peselisihan akan adanya sebuah sifat yang baru ataukah tidak ada, maka yang dibenarkan adalah ucapan orang  yang berpegangan pada ketidaan, karena itulah hukum dasar segala sesuatu.


Sumber:
Andiko, T. (2011). Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah. Yogyakarta: Teras.
Musbikin, I. (2001). Qawaid Al-Fiqhiyah. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2001.
RI, Depag. (2010), Al-Quran Tafsir Perkata. Bandung: Jabal.
(1998). اليقين لا يزول بالشك. [Online]. Tersedia http://faculty.ksu.edu.sa/alkhaderi/Publications.doc [12 Mei 2017]
Zaidan, A,K.  Al-Wajiz 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari. Terjemahan oleh Muhyidin Mas Rida. 2008. Jakarta:Al-Kautsar.
Abu Masud, “اليقين لا يزول بالشك”, Diakses dari http://edyanto56.blogspot.com//2012/07/kaidah-kaidah-fiqh-pokok.html, [ 9 Mei 2017]
Kaidah الاصل براءة الذمة ( Pada Dasarnya Tanggungan Itu Bebas),  Diakses dari https://kangim999.wordpress.com/2012/04/05/makalah-qawaid-fiqhiyyah/, [9 Mei 2017]





[1] Toha andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 79
[2] Toha andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah (Yogyakarta: Teras, 2011), ibid., hlm. 68
[3] Abu Masud, “اليقين لا يزول بالشك”, Diakses dari http://edyanto56.blogspot.com//2012/07/kaidah-kaidah-fiqh-pokok.html, pada tanggal 9 Mei 2017 pukul 18.15
[4] Toha andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah (Yogyakarta: Teras, 2011), loc.cit.
[5] Toha andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah (Yogyakarta: Teras, 2011), loc. cit
[6] Imam Musbikin, Qawaid Al-Fiqhiyah (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2001), hlm 55.
[7] Depag RI, Al-Quran Tafsir Perkata (Bandung: Jabal, 2010), hlm 527.
[8] Toha andiko, Op. Cit.  hlm. 80
[9] Kaidah الاصل براءة الذمة ( Pada Dasarnya Tanggungan Itu Bebas),  Diakses dari https://kangim999.wordpress.com/2012/04/05/makalah-qawaid-fiqhiyyah/, pada tanggal 9 Mei 2017 pukul 17.42
[10] Toha andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah (Yogyakarta: Teras, 2011), loc. cit
[11] Depag RI,  Al-Quran Tafsir Perkata (Bandung: Jabal, 2010), hlm. 213
[12] Toha andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah (Yogyakarta: Teras, 2011), loc. cit
[13] اليقين لا يزول بالشك Diakses dari http://faculty.ksu.edu.sa/alkhaderi/Publications.doc, pada tanggal 12 Mei 2017 pukul 13.16. Loc. cit.
[14] Imam Musbikin, Op.Cit,. hlm 56
[15]  Abu Masud, “اليقين لا يزول بالشك”, Diakses dari http://edyanto56.blogspot.com//2012/07/kaidah-kaidah-fiqh-pokok.html, pada tanggal 9 Mei 2017 pukul 18.15
[16]  Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari, Terj. Muhyidin Mas Rida, Sunt. Yasir Maqosid (Jakarta:Al-Kautsar, 2008), hlm 68
[17] Toha andiko, Op. Cit.  hlm. 83

0 komentar:

Posting Komentar