Pada
dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang
berhubungan dengan hak Allah maupun hak عدمي, setelah dia lahir
muncullah hak dan kewajiban pada dirinya.
Anak kecil lepas dari tanggung jawab melakukan kewajiban sampai datangnya waktu baligh. Tidak ada hak dan kewajiban antara pria dan wanita yang bersifat pernikahan sampai terbukti adanya akad nikah. Demikian seterusnya sampai ada hal yang mengubahnya[1].
Anak kecil lepas dari tanggung jawab melakukan kewajiban sampai datangnya waktu baligh. Tidak ada hak dan kewajiban antara pria dan wanita yang bersifat pernikahan sampai terbukti adanya akad nikah. Demikian seterusnya sampai ada hal yang mengubahnya[1].
Ajaran agama islam tidak pernah mempersulit umatnya.
Justru, agama ini hadir di muka bumi untuk memberikan kemudahan dan jalan
keluar dari kesulitan yang ada. Karena itu, segala sikap yang cenderung
berlebih-lebihan dan mempersulit diri dalam beragama sangatlah tidak
dibenarkan. Karena hal ini dapat menimbulkan sikap was-was.
Karena itu, cara yang dianggap efektif untuk menghilangkan perasaan was-was itu
adalah dengan melawan atau menentang perasaan was-was itu sendiri didasari ilmu dan
keyakinan.
Keyakinan
yang dimaksud disini adalah keyakinan yang benar-benar datang dari hatinya,
bukan sekedar pura-pura yakin, apalagi dengan alasan malu kepada orang lain,
karena malu kepada Allah harus lebih didahulukan. Secara etimologi اليقين
adalah sesuatu yang menetap (الإستقرار), kepercayaan yang pasti (الجازم),
teguh (الثبت),
dan sesuai dengan kenyataan (المطابق لي الواقئ). Bisa juga dimaknai sebagai ilmu tentang sesuatu yang
membawa kepada kepastian dan kematapan hati tentang hakikat sesuatu itu, dalam
arti tidak ada keraguan lagi.[2]
Dalam
suatu perkara apabila terdapat keraguan, maka ditetapkan hukumnya seperti sedia
kala, yakni sifat-sifat itu dianggap tidak pernah ada, apabila terjadi
peselisihan akan adanya sebuah sifat yang baru ataukah tidak ada, maka yang
dibenarkan adalah ucapan orang yang berpegangan pada ketidaan, karena
itulah hukum dasar segala sesuatu.[3]
Dari sini menjadi jelaslah bahwa sesuatu yang hanya berdasar pada perasaan atau
keraguan, tidak dapat dijadikan pedoman untuk memutuskan tentang sah atau
tidaknya sesuatu.
Dalam
penerapan kaidah اليقين لا يزال بالشك kemudian muncul kaidah-kaidah yang lebih
sempit ruang lingkupnya. Dari berbagai cabang kaidah ini[4]
kami akan membahas tiga cabang dalam makalah ini diantaranya:
A. الأصل
براءة الذمة (Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab).
B. ما ثبت
بيقين لا يرتفع إلا بيقين إنّ (Sesungguhnya apa yang
sudah menetap atas dasar keyakinan, tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan
lagi).
C. الأصل في
الصفات العارضة العدم (Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak
ada).
A. Kaidah الأصل براءة الذمة
“Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung
jawab”
a. Maksud Kaidah
Pada dasarnya manusia
dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang behubungan dengan hak Allah maupun hak عدمي sesuai dengan kodratnya[5],
manusia adalah mahluk yang suci tidak terbebani oleh dosa waris atau dosa
akibat perbuatan orang tuanya. Adanya beban tanggung jawab adalah sebagai
konsekuensi logis dari hak-hak yang telah dimiliki atau perbuatan-perbuatan
yang dilakukannya setelah ia lahir.
b. Dasar-Dasar Pengambilan Kaidah
Para ulama berpendapat bahwa anak buangan yang
diketemukan orang, dipandang anak merdeka, bukan anak budak, sebab
kemedekaannya itu menjadi asal. Sebagaimana
hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam:
كُلُّ
مَوْلُودِ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ حَتَّى يَعْرُبَ عَنْهُ لِسَانُهُ
فَائَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُتَصِّرَانِهِ أَوْ يُمجِّسَانِهِ
“Semua anak dilahirkan
atas dasar kesucian/kebersihan (dari segala dosa) dan pembawaan beragama
tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang
menyebabkan anaknya menjadi yahudi, nasrani atau majusi”.
(HR. Abu Ya’la, Al-Thabrani, dan Al-Baihaqi
dari Al-Aswad bin Sari’)[6]
Dan berdasarkan firman Allah dalam surah
An-Najm ayat 38:
اَلَّا
تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرَى
“(yaitu) bahwa seseorang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”.
(QS. An-Najm: 38)[7]
Dari dalil yang
disebutkan diatas, terlihat bahwa fitrah manusia lahir dalam keadaan bebas dari
tanggung jawab dan bersih dari dosa.
c. Uraian Kaidah
Berdasarkan kaidah ini,
sebagai contoh terjadi perselisihan dalam masalah ganti rugi barang titipan
yang rusak. Maka dalam hal ini, yang dititipi barang tidak dibebani ganti rugi
jika ia berani bersumpah tidak merusak barang titipan tersebut[8]. Keputusan ini sesuai dengan konstruksi kaidah ini, berasal
dari hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam:
البينة
على المدعي واليمين على المدعى عليه
“Mendatangkan bukti wajib atas orang yang
mendakwa, sedangkan sumpah wajib atas orang yang didakwa”. (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi,
Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad).
Dengan hadis ini, menjadi jelas bahwa, tuntutan
seorang pendakwa (المدعي) terhadap terdakwa (المدعي عليه) tidak dibenarkan selama pendakwa tidak
mampu menunjukkan bukti dan menghadirkan saksi. Karena itu, jika bukti dan
saksi tidak ada, maka pihak yang dibenarkan ucapannya adalah terdakwa beserta
sumpahnya. Sebab jika menilik hukum-asal, terdakwa adalah pihak yang bebas dari
tanggungan apapun.
Sementara kewajiban bersumpah bagi terdakwa
didasarkan pada argumen pokok bahwa dia adalah pihak yang “meniadakan”
(menafikan tuntutan pendakwa). Sementara orang yang meniadakan suatu hal tidak
dapat dituntut untuk mendatangkan saksi ataupun bukti. Karenanya, terdakwa
hanya diwajibkan bersumpah saja. Berbeda dengan pihak penuntut, ia harus
mendatangkan saksi dan bukti karena ia berposisi sebagai pendakwa yang ingin
mendapat legitimasi hukum atas dakwaannya[9].
B.
Kaidah ما ثبت بيقين لا يرتفع
إلا بيقين إنّ
“Sesungguhnya apa yang sudah menetap atas dasar
keyakinan, tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi”
a. Maksud Kaidah
Keyakinan yang dimaksud disini adalah keyakinan
yang benar-benar datang dari hatinya, bukan sekedar pura-pura yakin, apalagi
dengan alasan malu kepada orang lain, karena malu kepada Allah harus lebih
didahulukan. Secara etimologi اليقين adalah sesuatu yang menetap (الإستقرار),
kepercayaan yang pasti (الجازم), teguh (الثبت), dan sesuai dengan kenyataan (المطابق
لي الواقئ). Bisa juga dimaknai
sebagai ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada kepastian dan
kematapan hati tentang hakikat sesuatu itu, dalam arti tidak ada keraguan lagi.[10]
b. Dasar-Dasar Pengambilan Kaidah
Bila dicermati sebenarnya kaidah ini adalah
penjabaran dari kaidah pokok اليقين لا يزال بالشك, karena sesuatu yang yakin dengan apabila
tidak bisa hilang dengan keraguan, maka dia itu akan bisa hilang dengan
keyakinan juga. Sebagaimana dalam firman Allah surah Yunus ayat 36:
وَ مَا
يَتَّبِعُ اَكْثَرُهُمْ اِلّا ااظَنَّا إنَّ الظَنَّ لَا يُغْنِيْ مِنَ الحَقِّ
شَئًا إنَّ اللَّهَ عَلِيْمٌ بِمأ يَفْعَلُوْنَ
“Dan kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan.
Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikit pun berguna untuk melawan kebenaran.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”
(QS. Yunus: 36)[11]
c. Uraian Kaidah
Bedasarkan
kaidah ini, sebagai contoh jika seseorang yakin sudah melaksanakan shalat isya,
tapi ia ragu sudah mencapai empat rakaat atau masih tiga rakaat. Maka dalam hal
ini, ia harus menambah satu rakaat lagi, karena yang sudah pasti yakin adalah
ia sudah melaksanakan tiga rakaat[12].
Contoh kedua, ketika seseorang tidak yakin telah melakukan الطلق kepada istrinya,
maka dia dianggap belum bercerai karena yang ia yakini adalah pernikahannya
bukan الطلق atau perceraiannya[13].
C. Kaidah الأصل في الصفات العارضة العدم
“Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian
adalah tidak ada”
a.
Maksud Kaidah
Maksud
dari kata-kata (الصفات العارضة) ialah
sifat yang tidak terdapat pada dasarnya, atau sifat yang datang kemudian. Jadi,
dalam suatu perkara apabila terdapat keraguan karena datangnya sifat seperti di
atas, maka ditetapkan hukumnya seperti sedia kala, yakni sifat-sifat itu dianggap
tidak pernah ada[14], apabila
terjadi peselisihan akan adanya sebuah sifat yang baru ataukah tidak ada, maka
yang dibenarkan adalah ucapan orang yang berpegangan pada ketiadaan,
karena itulah hukum dasar segala sesuatu[15].
Sifat-sifat berdasarkan
ada atau tidak adanya terbagi atas dua bagian[16]:
ü Bagian pertama, sifat-sifat yang
keberadaannya pada sesuatu adalah baru, dalam arti bahwa sesuatu itu
berdasarkan tabiatnya kosong dari sifat-sifat itu pada umumnya. Inilah yang
disebut dengan sifat-sifat yang baru, karena
adanya sifat tersbut baru datang setelah adanya sesuatu itu sendiri
sedangkan kaidah asal pada sifat-sifat ini adalah العدم (tidak ada). Sama atau
disamakan atau kedudukannya sama dengan sifat-sifat itu adalah prkara-perkara
yang kebradaannya didahului olh tidak ada, seperti berbagai macama jenis akad,
tindakan, dan perbuatan.
ü Bagian kedua, sifat-sifat yang keberadaannya
pada sesuatu bersamaan dengan keberadaan sesuatu itu sendiri artinya,
keberadaannya berbarengan dengan adanya sesuatu itu, sehingga scara alami
sesuatu itu termasuk bagian darinya atau scara umum termasuk bagian darinya.
Inilah yang disebut dengan sifat asli. Sedangkan kaidah asal dari sifat-sifat
itu adalah الوجد misalnya, keperawanan
pada anak gadis. Disamakan dengan sifat asli adalah sifat baru yang
kebradaannya ditetapkan pada suatu waktu, maka kaidah asal pada sifat tersebut
adalah البقئ
(terus menerus ada) setelah keberadaannya ditetapkan.
b. Uraian Kaidah
Berdasarkan
kaidah ini, sebagai contoh terjadi
perselisihan dalam transaksi jual beli mengenai sah atau tidak sahnya jual beli
tersebut. Maka pendapat yang dimenangkan adalah perkataan orang yang menyatakan
batal, karena hal ini berarti mengingkari terjadinya akad. Sebab secara hukum,
asal yag benar adalah tidak atau belum terjadi akad. Contoh kedua, terjadi
persengketaan antara penjual dan pembeli tentang ada atau tidaknya cacat barang
yang diperjual belikan, maka yang dimenangkan disini adalah perkataan si
penjual, karena pada asalnya cacat itu tidak ada dan transaksi jual beli sudah
berlangsung secara sah tanpa ada gugatan. Namun, ada pengecualian jika si
pembeli bisa memberikan bukti yang meyakinkan bahwa cacat barang itu sudah ada
ketika barang tersebut masih berada di tangan penjual[17].
KESIMPULAN
1. Cara menghadapi segala sesuatu yang meragukan
adalah menggunakan dasar ilmu keyakinan.
2. Pada dasarnya manusia ketika dilahirkan adalah
keadaan bebas dari kewajiban, hingga waktu usianya mencapai hukum yang
ditetapkan.
3. Dalam suatu perkara apabila terdapat keraguan,
maka ditetapkan hukumnya seperti sedia kala.
4. Apabila terjadi peselisihan akan adanya sebuah
sifat yang baru ataukah tidak ada, maka yang dibenarkan adalah ucapan
orang yang berpegangan pada ketidaan, karena itulah hukum dasar segala
sesuatu.
Sumber:
Andiko, T. (2011). Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah. Yogyakarta: Teras.
Musbikin, I. (2001). Qawaid Al-Fiqhiyah.
Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2001.
RI, Depag. (2010), Al-Quran Tafsir Perkata.
Bandung: Jabal.
(1998). اليقين لا يزول
بالشك. [Online]. Tersedia http://faculty.ksu.edu.sa/alkhaderi/Publications.doc [12 Mei 2017]
Zaidan, A,K. Al-Wajiz 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari. Terjemahan oleh
Muhyidin Mas Rida. 2008. Jakarta:Al-Kautsar.
Abu Masud, “اليقين لا يزول بالشك”, Diakses dari http://edyanto56.blogspot.com//2012/07/kaidah-kaidah-fiqh-pokok.html, [ 9
Mei 2017]
Kaidah الاصل براءة
الذمة ( Pada Dasarnya
Tanggungan Itu Bebas), Diakses dari https://kangim999.wordpress.com/2012/04/05/makalah-qawaid-fiqhiyyah/, [9 Mei 2017]
[1] Toha
andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 79
[2] Toha
andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah (Yogyakarta: Teras, 2011), ibid., hlm. 68
[3] Abu Masud, “اليقين لا يزول بالشك”, Diakses dari http://edyanto56.blogspot.com//2012/07/kaidah-kaidah-fiqh-pokok.html,
pada tanggal 9 Mei 2017 pukul 18.15
[5] Toha
andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah (Yogyakarta: Teras, 2011), loc. cit
[7] Depag RI,
Al-Quran Tafsir Perkata (Bandung: Jabal, 2010), hlm 527.
[8] Toha
andiko, Op. Cit. hlm. 80
[9] Kaidah الاصل
براءة الذمة ( Pada Dasarnya
Tanggungan Itu Bebas), Diakses dari https://kangim999.wordpress.com/2012/04/05/makalah-qawaid-fiqhiyyah/, pada tanggal 9 Mei 2017 pukul 17.42
[13] اليقين لا يزول بالشك Diakses dari http://faculty.ksu.edu.sa/alkhaderi/Publications.doc, pada tanggal 12 Mei
2017 pukul 13.16. Loc. cit.
[15] Abu Masud, “اليقين لا يزول بالشك”, Diakses dari http://edyanto56.blogspot.com//2012/07/kaidah-kaidah-fiqh-pokok.html, pada tanggal 9 Mei
2017 pukul 18.15
[16] Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz 100 Kaidah Fikih dalam
Kehidupan Sehari-hari, Terj. Muhyidin Mas Rida, Sunt. Yasir Maqosid
(Jakarta:Al-Kautsar, 2008), hlm 68
0 komentar:
Posting Komentar